Thursday, October 7, 2010

Manusia yang (Hampir) Kehabisan Kata-kata

Sitor Situmorang berusia 86 tahun. Menurut dia, pencapaiannya atas usia itulah salah satu faktor dia mendapat MasterCard-Saraswati Literary Award for Life Achievement Rabu (6/10) malam lalu di Pura Dalem, Ubud.
Malam itu, dengan setelan berkerah tinggi warna cokelat muda, ia membawakan puisi 'Bukan Pura Besakih'. Percampuran antara bayangan perjalanannya dan lapangan di penjara Salemba yang pernah ia tempati tanpa pengadilan selama delapan tahun.
Kamis pagi (7/10) ini, dalam sebuah sesi khusus Ubud Writers & Readers Festival 2010, Sitor menceritakan tentang pengalamannya di penjara Salemba. "Ada bedanya antara Anda dijatuhi hukuman delapan tahun dan dipenjara selama delapan tahun. Jika Anda dijatuhi hukuman, maka Anda bisa menghitung hari, minggu, bulan, tahun sampai kemudian Anda bebas. Tapi saya hanya dijemput tanpa tahu sampai kapan saya akan bebas. Pada akhirnya saya berhenti menghitung hari dan hanya bisa berharap."
Pada 1967-1975, Sitor Situmorang dipenjara tanpa alasan jelas. Yang diduga kuat menjadi sebabnya adalah karena ia menerbitkan esai Sastra Revolusioner. Salemba yang ia ingat adalah semacam kamp konsentrasi para tahanan politik sebelum mereka dikirim ke pulau pembuangan yang jauh di timur Indonesia. "Saya bukan orang yang naif secara politis. Saya sangat aktif secara politik dengan cara saya sendiri, bukan dengan tujuan ingin menjadi anggota parlemen. Jauh kemudian saya mengerti kenapa saya harus dipenjara. Karena diktator militer harus memenjarakan orang-orang yang memungkinkan terjadinya perlawanan secara terbuka," kata Sitor.
Satu-satunya pekerjaan Sitor adalah penulis. Maka, larangan ia menulis langsung terasa sebagai suatu pembatasan yang luar biasa. Melihat kembali pengalamannya di Salemba, menurut Sitor, tidak hanya bagi penulis, orang yang belum pernah menulis pun, ketika teraniaya akan jadi bisa menulis.
Meski begitu, yang sebenarnya lebih menarik dari sosok Sitor adalah dia manusia yang berperjalanan. Karya-karyanya banyak yang merekam tentang apa artinya berada di suatu tempat yang asing. Kaliurang, Paris, Jakarta, tentang benua dan samudera.
Ditanya soal itu, Sitor mengatakan, pada dasarnya dia memang orang yang tidak betah tinggal di satu tempat dan harus terus mengembara. Tetapi, itu berawal dari pekerjaannya sebagai wartawan. Dia ditugaskan ke mana-mana di Indonesia, dari situ kemudian muncul tulisan atau wawancara yang kemudian menarik perhatian.
Apakah orang harus berperjalanan untuk bisa menulis? "Tidak. Orang hidup mesti berjalan. Kalau tidak, dia tidak akan berkembang."
Di panggung, Sitor bilang, dalam 10 tahun terakhir, dia sudah tidak menulis apa-apa lagi yang punya makna literer. "Keinginan untuk menulis, untuk menjadi lebih produktif, tetap ada. Tetapi dalam 10 tahun terakhir, saya tidak menulis satu kalimat pun."
Istri Sitor, Barbara Brouwers kemudian memrotesnya di depan publik. Setelah acara, dikonfirmasi tentang protes itu, Barbara bilang, "Tidak sampai kalau 10 tahun. Mungkin kalau cerpen, sudah tidak. Tapi puisi, dia masih menulis sampai dua atau tiga tahun lalu. Tahun 2006 masih ada puisi yang dia buat."
"Sebelum saya meninggal pun, saya masih akan tetap mau menulis," kata Sitor. Tetapi, dorongannya untuk menulis pada usia sekarang makin berkurang. Kini, seperti salah satu baris dalam sajaknya, Sitor menjadi manusia yang kehabisan kata-kata.

No comments:

Post a Comment